Chevrolet Impala 1958
Posisi Luthfi sebagai pemimpin partai Islam mungkin sama dengan Mohammad Natsir dulu. Natsir menjadi Ketua Umum Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) tahun 1949-1958. Masyumi ialah Partai Islam terbesar kala itu.
Pada Pemilu 1955, Natsir membawa Masyumi di posisi kedua dengan 7.903.886 suara atau 20,92 persen. Beda tipis dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang menjadi pemenang dengan 8.434.653 suara, atau 22,32 persen.
Di pemerintahan, Natsir menjadi menteri penerangan dua kali tahun 1946-1947 dan 1948-1949. Dia pun menjadi Perdana Menteri tahun 1950-1951. Dengan sistem pemerintahan parlementer di Indonesia ketika itu, otomatis Natsir menjadi orang nomor satu.
Natsir dinyatakan dunia sebagai politikus Islam handal. Dia menjadi presiden Liga Muslim se-Dunia (World Muslim Congress) dan ketua Dewan Masjid se-Dunia.
Tapi tak pernah terbesit juga niat Natsir guna menerima suap. Natsir dikenal sebagai menteri dengan jas bertambal. Walau pejabat negara, hidupnya pas-pasan. Bahkan anak buahnya sempat urunan guna membelikan Natsir kemeja yang layak. Bayangkan, seorang menteri dan ketua parpol hingga harus dibelikan baju oleh anak buahnya.
Dalam ‘Seri Buku Tempo, Natsir, politik santun salah satu dua rezim’ diceritakan suatu hari terdapat seorang tamu yang datang ke lokasi tinggal Natsir. Tamu tersebut berniat menyerahkan sebuah mobil Chevrolet Impala. Pada tahun 1956 barangkali Chevrolet Impala tersebut sekelas Toyota Royal Saloon yang biasa dipakai pejabat RI ketika ini.
Anak-anak Natsir yang menguping percakapan tamu dan ayah mereka, paling gembira. Terbayang alangkah nikmatnya mengemudikan Chevrolet Impala yang besar dan mewah itu. Tapi asa mereka buyar. Natsir dengan halus menampik pemberian itu. Lemaslah mereka.
“Mobil tersebut bukan hak kita. Lagipula yang terdapat masih cukup,” ujar Natsir menghibur anak-anaknya. Saat tersebut Natsir masih menjadi pejabat negara. Dia masih menjadi Ketua Fraksi Masyumi. Kontras benar dengan gaya semua pemimpin fraksi ketika ini yang bergaya necis dan bermobil mentereng.
Bukan melulu mobil, family Natsir pun kendala membeli rumah. Saat menjadi menteri bertahun-tahun mereka mesti menumpang hidup di paviliun kawan Natsir, Prawoto Mangkusaswito, di dusun Bali, Tanah Abang. Ketika pemerintah RI pindah ke Yogyakarta, Nasir menumpang di paviliun milik family Agus Salim.
Maka tepat sekali puisi yang ditulis budayawan Taufiq Ismail untuk memperingati 100 tahun Natsir. Dalam kitab 100 tahun Mohammad Natsir: berbaikan dengan sejarah karangan Lukman Hakiem yang diterbitkan Republika. Taufiq melukiskan kecintaan Indonesia pada figur santun dan jujur laksana Natsir.
“Bagi rakyat dia ialah menteri yang jasnya bertambal. Mobil pribadinya DeSoto,
berwarna kusam, dan menggeleng saat ditawari Chevvy Impala. Dialah perdana menteri yang menolak keunggulan dana taktis yang disumbangkannya ke koperasi pegawai. Dialah pemimpin ummat yang kantong kemejanya bernoda bekas tinta. Perdana menteri yang pernah boncengan dengan sopirnya naik sepeda, yang berpengalaman warisnya tak dapat membayar pajak peninggalan rumahnya di area Menteng.” [ren]